Minggu, 27 Maret 2016

Siapkah Perekonomian Indonesia Menghadapi MEA?


Sebelum menjawab siap atau tidaknya Indonesia dalam  menghadapi MEA, ada baiknya kita tahu apa itu MEA.
MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara ASEAN yang sebelumnya telah disepakati bersama oleh anggota negara ASEAN untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan ASEAN dengan diadakannya pembebasan hambatan tarif (bea cukai) bagi negara-negara anggotanya.
Sejarah terbentuknya MEA terjadi pada tahun 1997. Saat itu, ASEAN meluncurkan inisiatif pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas masyarakat ASEAN melalui ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second Informal Summit di Kuala Lumpur, Malaysia. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka panjang yang bernama Hanoi Plan of Action yang disepakati pada tahun 1998. ASEAN Vision 2020 sendiri merupakan visi ASEAN di tahun 2020 untuk mewujudkan kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.
Setelah krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara, pada KTT ASEAN ke-9 yang diadakan di Bali pada Oktober 2003 silam, para kepala negara ASEAN menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya yang bernama Declaration of ASEAN Concord II atau yang dikenal dengan nama Bali Concord II. Pembentukan komunitas ASEAn ini lebih diarahkan kepada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada perwujudan ASEAN 2020.
Pencapaian Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu declaration on the acceleration of the establishment of an ASEAN community by 2015” yang dilakukan oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-12 yang diadakan di Cebu, Filipina pada 13 Januari 2007 lalu.
Pada dasarnya, Masyarakat Ekonomi ASEAN mengacu pada kebijakan yang disusun pada AEC Blueprint. AEC Blueprint sendiri merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN dalam mewujudkan MEA. AEC Blueprint terdiri dari empat pilar, antara lain:
1.      ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih luas.
2.      ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas  kekayaan intelektual, pengembangan infrastuktur, perpajakan, dan e-commerce.
3.      ASEAN sebagai kawasan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam).
4.      ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan keikutsertaan dalam jejaring produksi global.

Tujuan dari dibentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bukan hanya menjadi pasar dari negara-negara maju seperti Amerika, negara-negara Eropa, dan negara-negara Asia Timur, serta menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota-anggotanya agar bisa bersaing dalam menghadapi tantangan global untuk selanjutnya agar dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial antarnegara anggota.  

MEA pun membawa dampak, terutama bagi pekerja ASEAN dalam bidang tenaga medis, arsitek, dokter gigi, perawat, akuntan, tenaga riset, dan pariwisata yang kini dapat bekerja di negara-negara ASEAN apabila mereka memiliki spesialisasi yang dibutuhkan. Hal ini juga berdampak bagi para pengusaha bidang barang atau jasa Indonesia baik pengusaha besar, maupun pengusaha UKM. Dengan adanya MEA, mereka akan memiliki daya saing.

Namun kenyataannya, Indonesia nampaknya masih belum siap dengan adanya MEA yang telah dijalankan sejak 2015 silam. Hal ini terbukti dengan banyaknya buruh yang demo menuntut kesejahteraan karena mereka takut bersaing dan digantikan dengan tenaga kerja asing yang lebih kompeten. Indonesia masih belum mampu bersaing karena masih kurangnya tenaga kerja ahli. Seperti yang saya kutip dari website vivanews.co.id, menurut Ketua Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Didik J. Rachbini, jika dilihat dari kualitas tenaga kerja Indonesia saat ini,  pemerintah harus berputar otak supaya para tenaga kerja Indonesia bisa bersaing di MEA. Hal ini dikarenakan, hingga kini hampir separuh atau 47,1 persen dari tenaga kerja Indonesia adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. “Sehingga ini sulit mendapat tenaga kerja dengan kualifikasi keterampilan dan keahlian yang cukup”, ujar beliau. Pantas jika para buruh merasa akan tersaingi dengan tenaga kerja dari negara-negara tetangga. Seharusnya, masyarakat bisa ikut bekerjasama terhadap Pemerintah terhadap sistem kenegaraan yang ada.Kesadaran masyarakat harus terus dibangun dengan menyadarkan arti pentingnya pendidikan dan kemampuan dan tidak sebatas hanya nyamannya pekerjaan yang itu-itu saja. Berhubung MEA sudah berjalan, siap ataupun tidak siap kita harus bisa menghadapinya. Yaitu dengan menjadi tenaga kerja yang kompeten, dan berdaya saing untuk membangun perekonomian ASEAN, khususnya Indonesia sendiri.

Materi Referensi:
Rachmi Hertanti (2014). ppijkt.wordpress.com/2014/10/06/ancaman-mea-2015-momentum-bangkitnya-gerakan-buruh-asean/. Link. 8 Maret 2016
Rochimawati, Rizki Aulia Rachman (2015). m.news.viva.co.id/news/read/717164-menakar-dampak-positif-dan-negatif-mea-terhadap-indonesia. 8 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar