Sebelum
menjawab siap atau tidaknya Indonesia dalam menghadapi MEA, ada baiknya kita tahu apa itu
MEA.
MEA
atau Masyarakat Ekonomi ASEAN atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan ASEAN
Economic Community (AEC) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi
perdagangan bebas antarnegara ASEAN yang sebelumnya telah disepakati bersama
oleh anggota negara ASEAN untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan
ASEAN dengan diadakannya pembebasan hambatan tarif (bea cukai) bagi
negara-negara anggotanya.
Sejarah
terbentuknya MEA terjadi pada tahun 1997. Saat itu, ASEAN meluncurkan inisiatif
pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas masyarakat ASEAN melalui
ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second Informal Summit di Kuala
Lumpur, Malaysia. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka
panjang yang bernama Hanoi Plan of Action yang disepakati pada tahun 1998.
ASEAN Vision 2020 sendiri merupakan visi ASEAN di tahun 2020 untuk mewujudkan
kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan
ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan
kesenjangan sosial ekonomi.
Setelah
krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara, pada KTT ASEAN ke-9 yang
diadakan di Bali pada Oktober 2003 silam, para kepala negara ASEAN menyepakati
pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang ekonomi, politik,
dan sosial budaya yang bernama Declaration of ASEAN Concord II atau yang
dikenal dengan nama Bali Concord II. Pembentukan komunitas ASEAn ini lebih
diarahkan kepada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada
perwujudan ASEAN 2020.
Pencapaian
Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu
declaration on the acceleration of the establishment of an ASEAN community by
2015” yang dilakukan oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-12 yang
diadakan di Cebu, Filipina pada 13 Januari 2007 lalu.
Pada
dasarnya, Masyarakat Ekonomi ASEAN mengacu pada kebijakan yang disusun pada AEC
Blueprint. AEC Blueprint sendiri merupakan pedoman bagi negara-negara anggota
ASEAN dalam mewujudkan MEA. AEC Blueprint terdiri dari empat pilar, antara
lain:
1. ASEAN
sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen
aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal
yang lebih luas.
2. ASEAN
sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan
kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas
kekayaan intelektual, pengembangan infrastuktur, perpajakan, dan
e-commerce.
3. ASEAN
sebagai kawasan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan
usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara CMLV
(Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam).
4. ASEAN
sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global
dengan pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan
meningkatkan keikutsertaan dalam jejaring produksi global.
Tujuan dari dibentuknya Masyarakat
Ekonomi ASEAN adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN
dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bukan hanya menjadi pasar dari
negara-negara maju seperti Amerika, negara-negara Eropa, dan negara-negara Asia
Timur, serta menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar
anggota-anggotanya agar bisa bersaing dalam menghadapi tantangan global untuk
selanjutnya agar dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial
antarnegara anggota.
MEA pun membawa dampak, terutama
bagi pekerja ASEAN dalam bidang tenaga medis, arsitek, dokter gigi, perawat,
akuntan, tenaga riset, dan pariwisata yang kini dapat bekerja di negara-negara
ASEAN apabila mereka memiliki spesialisasi yang dibutuhkan. Hal ini juga
berdampak bagi para pengusaha bidang barang atau jasa Indonesia baik pengusaha
besar, maupun pengusaha UKM. Dengan adanya MEA, mereka akan memiliki daya
saing.
Namun kenyataannya, Indonesia
nampaknya masih belum siap dengan adanya MEA yang telah dijalankan sejak 2015
silam. Hal ini terbukti dengan banyaknya buruh yang demo menuntut kesejahteraan
karena mereka takut bersaing dan digantikan dengan tenaga kerja asing yang
lebih kompeten. Indonesia masih belum mampu bersaing karena masih kurangnya
tenaga kerja ahli. Seperti yang saya kutip dari website vivanews.co.id, menurut
Ketua Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kamar
Dagang dan Industri (Kadin), Didik J. Rachbini, jika dilihat dari kualitas
tenaga kerja Indonesia saat ini,
pemerintah harus berputar otak supaya para tenaga kerja Indonesia bisa
bersaing di MEA. Hal ini dikarenakan, hingga kini hampir separuh atau 47,1
persen dari tenaga kerja Indonesia adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.
“Sehingga ini sulit mendapat tenaga kerja dengan kualifikasi keterampilan dan
keahlian yang cukup”, ujar beliau. Pantas jika para buruh merasa akan tersaingi
dengan tenaga kerja dari negara-negara tetangga. Seharusnya, masyarakat bisa
ikut bekerjasama terhadap Pemerintah terhadap sistem kenegaraan yang
ada.Kesadaran masyarakat harus terus dibangun dengan menyadarkan arti
pentingnya pendidikan dan kemampuan dan tidak sebatas hanya nyamannya pekerjaan
yang itu-itu saja. Berhubung MEA sudah berjalan, siap ataupun tidak siap kita
harus bisa menghadapinya. Yaitu dengan menjadi tenaga kerja yang kompeten, dan
berdaya saing untuk membangun perekonomian ASEAN, khususnya Indonesia sendiri.
Materi Referensi:
Rachmi Hertanti (2014). ppijkt.wordpress.com/2014/10/06/ancaman-mea-2015-momentum-bangkitnya-gerakan-buruh-asean/.
Link. 8 Maret 2016
Soetanto (2008). https://soetanto.wordpress.com/asean-economic-community-aec-2015ayo-kita-siap-siap/. Link. 8 Maret 2016
Faizal Malik (2015). www.academia.edu/9601085/LATAR_BELAKANG_TERBENTUKNYA_MEA_ATAU_AEC_2015. Link. 8 Maret 2016
Rochimawati, Rizki Aulia Rachman (2015). m.news.viva.co.id/news/read/717164-menakar-dampak-positif-dan-negatif-mea-terhadap-indonesia.
8 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar