A.
Neraca
Pembayaran
Neraca pembayaran merupakan
suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan
penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca
pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari
individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca
pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan (yang terdiri dari neraca
perdagangan, neraca jasa dan transfer payment) dan neraca lalu lintas modal dan
finansial, dan item-item finansial.
Transaksi
dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.
1. Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan
mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini
disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan
berkurangnya posisi cadangan devisa.
2. Transaksi kredit adalah transaksi yang
menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri.
Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang
menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.
B.
Arus
Modal Masuk
Transaksi
modal menggambarkan aliran keluar masuk modal di antara Indonesia dengan
negara-negara lain. Dalam arus modal, dicatat dua golongan transaksi, yaitu:
·
Aliran
modal pemerintah. Aliran ini dapat berupa pinjaman dan bantuan dari
negara-negara asing yang diberikan kepada pemerintah.
·
Aliran
modal swasta. Aliran modal swasta, terdiri atas investasi langsung, investasi
portofolio, dan amortisasi. Investasi langsung adalah investasi untuk
mengembangkan perusahaan-perusahaan. Investasi portofolio adalah investasi
dalam bentuk membeli saham-saham di negara lain. Amortisasi adalah pembelian
kembali saham-saham atau kekayaan lain yang pada masa lalu telah dijual kepada
penduduk negara lain.
C.
Utang
Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar
negeri, adalah sebagian dari
total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang
luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang
dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Utang Luar
Negeri Indonesia
Struktur
pembiayaan pembangunan Indonesia selama pelaksanaan PJPT I banyak bergantung
pada bantuan luar negeri dan perolehan dari ekspor minyak bumi. Hal tersebut
dapat dimaklumi karena pada tahun 1970-an terjadi boom minyak bumi di pasaran
dunia sehingga perekonomian kita sangat tergantung pada perolehan devisa dari
hasil ekspor migas. Tetapi merosotnya harga minyak bumi dipasaran dunia pada
tahun 1980-an mengingatkan bahwa kita tidak mungkin selamanya tergantung dari
hasil ekspor migas, sehingga perlu dipacu perkembangan sektor non migas untuk
meningkatkan perolehan devisa dari ekspor sektor ini.
Dalam hal
pelaksanaan pendanaan bagi pembangunan negara diarahkan untuk berlandaskan pada
kemampuan diri sendiri (berdikari), disamping dapat juga memanfaatkan sumber
lainnya sebagai pelengkap, namun diusahakan tidak menjadi tergantung
(khususnya) dari sumber dana dari luar negeri yang berbentuk hutang luar
negeri. Implikasi dari besarnya hutang akan membuat rapuh kinerja perekonomian
nasional. Dimana muara akhir dampak besarnya hutang luar negeri tersebut akan
ditanggung oleh masyarakat banyak.
Dapat
dikatakan sekarang ini Indonesia telah terjebak oleh utang luar negeri (debt
trap) sekaligus menaikkan rangking kelas sebagai sebagai salah satu negara
penghutang kelas berat di dunia. Faktor eksternal seperti Yendaka merupakan
gejla yang tidak dapat ditolak bagi Indonesia.
Masalah utang
luar negeri sebenarnya merupakan masalah bagi setiap negara, Amerika Serikat
(AS) yang merupakan salah satu negara adi kuasa juga mempunyai utang luar
negeri. Namun bagi negara berkembang, masalah ini, tidak hanya klasik namun juga
telah menjadi rumit. Masalah utang luar
negeri bagi negara kita, harus dilihat dari banyak segi (integral comprehenship), dan tidak dapat
dilepaskan dari rangkaian sejarah pembangunan perekonomian nasional yang telah
berjalan selama 50 tahun pasca Indonesia merdeka.
Utang luar
negeri kita dapat dilihat dari perspektif absolut dan relatif.
Secara
absolut perlu diketahui komposisi utang (apakah lebih banyak hutang swasta atau
yang disebut privat debt terhadap utang resmi atau public and publicy quaranted
debt), syarat utang (jatuh tempo atau maturities berupa tingkat lunaknya serta
tingkat suku bunganya) biasanya lebih besar bila utang diperoleh melalui jalur
umum dan lebih ringan kita melalui jalur pemerintah (bank dunia/ IMF).
Secara
absolut utang luar negeri kita juga dapat dapat dilihat dalam kontrak neraca
pembayaran luar negeri dan anggaran dasar. Semakin besar rasio hutang terhadap
ekspor atau GDP dan semakin besar porsi pembayaran bunga dan cicilan hutang
terhadap pengeluaran anggaran total, maka semakin dalam hutang merasuk kedalam
perekonomian nasional. Tapi rasio atau angka juga suka diperbandingkan dengan
negara berhutang lainnya.
Secara
relatif jumlah utang Indonesia relatif lebih sedikit dari negara-negara Amerika
Latin. Ada berbagai masalah political economy
yang tersangkut dalam masalah utang luar negeri ini dalam era saat ini. Ini
mencakup segi-segi persepsi mengenai anggaran, masalah pegawai negeri dan aspek
keamanan. Mengenai anggaran kita ketahui bahwa peran anggaran telah berubah
dari motor penggerak ekonomi menjadi faktor yang justru kontraktif, atau lebih
sering disebut konservatif dalam upaya menggerakkan pertumbuhan. Restrukturisasi
dibidang APBN adalah beralihnya peran minyak sebagai sumber anggaran ke pajak.
Dalam era saat ini dapat disimpulkan bahwa
bila disatu pihak izin atau ketentuan dipermudah (baca: biaya produksi lebih
murah) maka dipihak lain pajak (baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan
nilai) meningkat perannya sebagai sumber anggaran. Tetapi persoalannya tidak
berhenti disini. Tidak dapat dipungkiri bahwa utang luar negeri telah berfungsi
sebagai injeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup defisit
anggaran pembangunan dan defisit neraca pembayaran (kuncoro, 1994).
Namun tidak
dapat dipungkiri terdapat kendala-kendala terhadap utang luar negeri yang kita
terima yang semakin meningkat setiap tahunnya seperti :
1. Fakta
bahwa selama ini semua komitmen bantuan atau pinjaman luar negeri berhasil
dicairkan atau alokasi dana pinjaman tidak sepenuhnya mampu terserap dalam
berbagai sektor kegiatan. Karena studi kelayakan proyek belum dikuti studi
evaluasi bagi proyek yang telah berjalan untuk menilai efektivitas dan
efisiensi penggunaan bantuan luar negeri.
2. Semakin
meningkatnya utang luar negeri kita baik kepada negara-negara donor maupun
lembaga-lembaga keuangan internasional yang tergantung dalam CGI.
3. Selain
itu penanaman modal asing atau PMA yang bertujuan meningkatkan investasi dapat
menyebabkan terjadinya capital flight atau pelarian modal keluar negeri apabila
tidak dilakukan kontrol dan kebijakan yang tepat oleh pemerintah.
4. Utang
luar negeri yang dilakukan oleh swasta sekalipun proporsinya lebih kecil (40%)
dibandingkan pemerintah (60%). Tetapi kebanyakan berbentuk pinjaman komersial
jangka pendek (1-3 tahun) dengan tingkat bunga yang cukup tinggi (10% - 15 %
pertahun) yang tentu saja sangat berisiko apabila tidak dikelola dengan baik
dapat dapat menyebabkan semakin meningkatkan volume utang luar negeri kita dan
berakibat pada besarnya angka debt service ratio (DSR).
5. Semakin berakumulatifnya utang luar negeri
maka semakin responsif terhadap gejolak nilai tukar mata uang negara donor
utama. Kesemua hal-hal ini yang telah disebut diatas menimbulkan suatu dilema
terhadap bantuan luar negeri kita. Untuk itu dibutuhkan strategi yang dapat
digunakan untuk memanfaatkan dana luar negeri yang tersedia tersebut agar
seefektif dan seefisien mungkin.
Materi
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar