Ruangmuka toko yang kosong di distrik perbelanjaan Singapura mungkin akan menjadi pemandangan umum.
Sebelumnya, pusat Singapura, Orchard Road, menjadi magnet bagi para turis untuk menikmati berbelanja di mal dan departemen store Jepang, Takashimaya. Sejak 2009, pusat belanja ini terus meningkat hingga mencapai level tertinggi.
Namun kemudian, perekonomian di sekitar wilayah tersebut harus berjuang dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi, mengatasi perlambatan pembelanjaan konsumen, sementara para broker properti ingin para riteler melakukan skalasi ulang dan menutup toko.
Harga sewa mal terus turun dari puncaknya di 2014, tetapi tetap saja tidak bisa meyakinkan sejumlah brand besar untuk bertahan di sana.
Berikut lima alasan mengapa Singapura tidak bisa lagi mepertahankan statusnya sebagai surga belanja:
1. Tech Savvy
Warga Singapura merupakan pembelanja paling tech savvy di Asia, dengan jumlah pembelanja online lebih banyak dibanding konsumen di Hong Kong dan Malaysia.
"Ritel berubah sebab e-commerce dan mal-mal perlu mereposisi diri mereka untuk menghadapi masa mendatang," kata John Lim, chief executive officer di ARA Asset Management, yang memiliki sejumlah mal di Singapura, Hong Kong dan Malaysia.
Mal harus melakukan fokus model baru pada outlet makanan, entertainment, layanan dan perbankan dan lebih sedikit fesyen dan produk konsumer, lanjut dia.
2. Toko-toko yang Tutup
Sejumlah peritel besar hengkang dari Singapura. Al-Futtaim Group, distributor untuk sejumlah brand besar seperti Marks & Spencer dan Zara, berencana menutup 10 toko di Singapura tahun ini, walaupun grup ini tetap membuka toko di Malaysia dan Indonesia.
Merek Inggris New Look dan jaringan ritel pakaian pria asal Perancis Celio berencana menutup toko di semester II tahun ini.
Serta, lebih banyak tenant akan mengikuti jejak riteler besar tersebut, menurut broker properti Cushman & Wakefield Inc.
3. Dampak Ekonomi China
Seperti halnya Hong Kong, Singapura juga terdampak pada perlambatan ekonomi China. Turis dan pembelian dari China menurun, atau membelanjakan uangnya sehemat mungkin.
"Turis China datang ke Singapura lebih untuk menikmati pengalaman ketimbang membeli barang-barang," kata Christine Li, Direktur Riset Cushman & Wakefield di Singapura.
"Dunia dan globalisasi membuat orang bisa dengan mudah menemukan barang yang sama di mana saja. Diferensiasi jadi kunci utama memenangkan persaingan antar ritel, tapi di Singapura tidak terlihat atau jarang," lanjut dia.
4. Perekonomian yang Sulit
Para pembelanja domestik juga turut mengetatkan uang belanjanya. Akibatnya, harga konsumen Singapura turun sepanjang 17 bulan berturut-turut di Maret, sebagai periode penurunan terlama.
Hal ini menunjukkan dampak dari penurunan harga minyak dan melemahnya perekonomian. Jika perekonomian terus melemah dan banyak PHK terjadi, maka sewa tempat perbelanjaan bisa turun 5 persen tahun ini, menurut Colliers International.
5. Pasokan Mal Meningkat
Suplai mal meningkat dan menekan harga sewa dan meningkatkan level kosong. Singapura akan menambah 4 juta kaki persegi untuk ruang ritel dalam tiga tahun kedepan, menurut data Cushman & Wakefield.
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar